Total Tayangan Halaman

Kamis, 24 Februari 2011

Pacaran dan Percobaan Tindak Pidana Perzinahan (teori asy-Syurû’ fî al-Jarîmah)


Pacaran dan Percobaan Tindak Pidana Perzinahan
(teori asy-Syurû’ fî al-Jarîmah)

Allah berfirman:
Artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Isra: 32)
Jika kita melihat dan memahami ayat di atas maka kita bisa sedikit mengambil kesimpulan bahwasanya kita sebagai orang yang beriman dilarang mendekati perbuatan zina apalagi melakukannya. Sebagaimana kita lihat relita kehidupan muda-mudi sekarang dimanapun kita berada, misalnya di jalan, di dalam bus, di taman, di sekolah, maupun di tampat ramai apalagi di tempat yang sepi yang jarang untuk di datangi seseorang, kita dapat menyaksikan muda-mudi berdua-duaan, bahkan tidak jarang mereka berpelukan dan bersikap laksana suami istri. Apakah itu yang mereka sebut pacaran yang berdasarkan cinta yang sejati. Sungguh cukup menggugah hati jika melihat realita tersebut, pacaran menjadi ajang bagi mereka untuk berbagi kasih yang tidak sedikit pula kata berbagi kasih sayang itu menuju kepada perbuatan zina.
Pacaran pun menjadi alasan bagi mereka untuk belajar menyayangi lawan jenis pada masa pra nikah. Atas dasar kenyataan di atas, timbullah pertanyaan sekaligus permasalahan menyangkut kegiatan yang mereka sebut pacaran itu, ialah apakah pacaran bisa dimasukkan kedalam kategori “percobaan tindak pidana zina”?
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka muncullah ide untuk mencari kemungkinan pacaran itu bisa disebut dengan percobaan tindak pidana zina. Maka pembahasan ini harus dimulai dari pengertian apa itu pacaran, kemungkinan kegiatan apa yang dilakukan muda-mudi pada saat mereka pacaran, sehingga bisa dikorelasikan kepada pembahasan percobaan tindak pidana zina dalam hukum pidana Islam dan sedikit mengungkit kepada hukum positive yang ada di Indonesia.
A. Pacaran
Istilah “pacaran” berasal dari kata “pacar” yang dapat diartikan dengan teman lawan jenis yang tetap mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih atau bisa di sebut dengan kekasih. Oleh karena itu pacaran atau berpacaran dapat diartikan dengan berkasih-kasihan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimanya. Menurut para fuqaha, pacaran ini dapat di fahami pengertiannya merujuk kepada yang positif maupun negatif.
Segi positif dari pacaran ini adalah adanya pengertian bahawasanya dalam pacaran itu terdapat sikap saling mengasihi dan mencintai antara seorang laki-laki dan perempuan yang tidak melanggar ketentuan syara’ karena dalam hal ini nabi Muhamad saw sendiri menganjurkan agar sesama manusia harus saling mengasihi dan mencintai, termasuk antara pria dan wanita.
Meskipun di dalam kalangan umat Islam menganggap bahwa pacaran itu adalah sebuah sarana untuk saling mengasihi, menyayangi, maupun mencintai sesama manusia khususnya lawan jenis, tetapi ada hal yang patut di perhatikan, yaitu hal yang menjadikan pacaran ini menjadi sebuah perbuatan yang negatif yaitu dengan adanya tindakan khalwat yang dilakukan oleh sepasang muda mudi yang berpacaran. Dan para ulama pun sepakat bahwa kegiatan khalwat ini diharamkan, karena dengan adanya kegiatan khalwat ini akan tercipta celah bagi manusia untuk terperosok ke dalam perbuatan maksiat dan kemungkinan besar akan terjadinya tindakan perzinahan. Dan masih banyak lagi perbuatan[1] atau tindakan-tindakan yang terjadi pada saat kegiatan berpacaran ini dilakukan, yang menunujuk kepada sisi perbuatan yang negatif.

B. Percobaan tindak pidana
Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya faktor eksternal, namun si pelaku ada niat dan adanya permualaan perbuatan pidana[2]. Dalam kasus ini dalam kegiatan pacaran yang dilakukan oleh orang berpacaran ini sudah mempunyai niat dan sudah melakukan permulaan perbuatan pidana, tetapi pada saat mereka mau melaksanakan perbuatan zina. Ada faktor eksternal yang mengakibatkan tidak selesainya perbuatan pidana tersebut dengan kata lain mereka gagal melakukan perbuatan zina karena ada penyebab eksternal. Misalnya mereka ketahuan oleh warga atau masyarakat, yang oleh karena itu tidak selesainya mereka dalam melakukam perbuatan pidana zina.
Di dalam percobaan tindak pidana, kita mengenal adanya fase-fase yang terbentuk, yaitu sebagai berikut:
1. Fase Pemikiran (marhalah at-tafkir wa at-tashmim)
Dalam fase ini terealisasi dengan adanya atau munculnya pemikiran atau perencanaan sesuatu jarimah dalam kasus ini dapat dilihat yaitu adanya perencanaan atau pemikiran untuk melakukan tindakan perzinahan pada saat orang tersebut berpacaran.
2. Fase persiapan (marhalah at-tahdzir)
Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah tersebut, seperti membeli obat-obatan maupun alat kontrasepsi yang dipakai demi terlaksanya perbuatan jarimah zina ini. Menurut saya membeli kendaraan bermotorpun bisa masuk kepada fase persiapan ini. Memang pada dasarnya membeli kendaraan tersebut tidak ada larangannya, namun permasalahannya adalah apabila kendaraan bermotor itu dipakai oleh orang yang berpacaran sebagai media untuk memperlancar dilakukannya pebuatan perzinahan maupun perbuatan-perbuatan maksiat yang terjadi dalam proses pacaran ini. Misalnya dengan menggunakan kendaraan itulah mereka dapat pergi ke tempat-tempat yang sepi untuk yang suasanya dapat menjadikan peluang perzinahan menjadiclebih besar. Oleh karena itu kendaraan inilah menjadi salah satu alat yang disiapkan dalam melaksanakan percobaan tindak pidana perzinahan ini.
3. Fase pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
Pada fase inilah perbuatan si pelaku bisa dikatakan sebagai jarimah. Tidak menjadi persoalan apakah perbuatan itu merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak. Melainkan sudah cukup untuk dihukum apabila perbuatan dalam fase pelaksanaan ini berupa maksiat3. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa ukuran perbuatan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa maksiat[3]. Misalnya, para muda mudi atau orang tersebut berduaan dan berpelukan tanpa pakaian ataupun pacaran yang dibarengi dengan ngobrol berduaan dalam satu kamar / rumah. Jelas perbuatan tersebut dikatakan perbuatan maksiat. Dan menurut saya bisa dikenakan hukuman.

C. Hukuman bagi pelaku percobaan
Menurut aturan yang terdapat dalam syari’at Islam. Hukuman untuk jarimah yang selesai tidak boleh disamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percobaan). Menurut Abdul Qadir Audah, oleh karena itu percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan zina sendiri yaitu jilid dan rajam[4].
Dalam memberikan hukuman kepada pelaku percobaan yang asumsinya dia tidak menyelesaikan jarimahnya, maka salah satu sudut panadang yang bisa diambil adalah atas dasar atau alasan apa pelaku itu tidak dapat menyelesaikan jarimah tersebut. Di sini kemungkinan dapat dikemukakan dua alasan, yaitu:
1.      Tidak selesainya suatu jarimah yang dalam pembahasan ini adalah jarimah zina dikarenakan terpaksa, misalnya orang tersebut terpaksa tertangkap atau karena suatu kejadian yang dapat menghalang-halangi berlangsungnya jarimah, maka keadaan tersebut tidak bisa mempengaruhi berlangsungnya pertanggung jawaban si pelaku, selama perbuatan yang dilakukannya itu bisa disebut maksiat. Dalam alasan ini juga termasuk tidak selesainya jarimah dikarenakan tidak selesainya jarimah yang dilakukan pelaku bukan atas dasar taubat. Maka pembuat juga bertanggung jawab atas perbuatannya. Yang dalam kasus ini, orang yang berpacaran dan pada saat ingin mencoba melakukan zina, tetapi dia tidak dapat menyelesaikan jarimahnya dan dia juga sudah melakukan perbuatan maksiat selama fase pelaksanaan ini, maka orang itu bisa dikenakan hukuman.
2.      Tidak selesainya suatu jarimah dikarenakan si pelaku bertobat. Dalam hal ini, apabila orang itu tidak melakukan perbuatan maksiat, menurut saya, maka orang terebut pantas tidak dijatuhi hukuman.
Dalam hal bentuk hukuman apa yang bisa dijatuhkan kepada orang yang melakukan percobaan tindak pidana zina yang dapat dianalogikan kedalam kegiatan berpacaran ini terdapat beberapa alternatif yaitu:
1.      Jika hukuman bagi orang berpacaran ini dijatuhi hukuman ta’zir yang mengacu kepada keputusan penguasa. Jika yang dimaksudkan hukuman ta’zir disini adalah yang mengacu kepada hukum positive. Walaupun dalam KUHP tidak menyinggung adanya masalah pacaran, tetapi dalam hal ini dapat dimasukkan kedalam masalah kejahatan terhadap kesopanan, khususnya pasal 281 yang menyatakan bahwa barang siapa yang sengaja merusak kesopanan dimuka umum diancam dengan hukuman penjara selama- lamanya dua tahun delapan bulan. Yang dimaksud merusak kesopanan disini dapat diambil contoh yaitu saling berciuman, yang perbuatan tersebut dianggap melanggar kesopanan bagi mayoritas masyarakat. Tetapi permsalahan lain timbul, yaitu hukuman tersebut bisa dijatuhkan jika orang tersebut melakukannya di tempat umum atau di ruangan terbuka, jadi jika melakukannya di tempat yang sepi dan tertutup tidak bisa dikenakan hukuman tersebut. Masalah kedua yaitu, terjadinya pergeseran budaya yang terjadi di dalam masyarakat, yang bisa menjadikan perbuatan tersebut menjadi lumrah, sehingga bagi mereka perbuatan tersebut tidak dianggap melanggar kesopanan.
2.      Si pelaku bisa dihukum menurut hukum adat setempat. Yang hukum tersebut dipengaruhi dari kebiasaan yang ada pada masyarakat.
3.      Dan alternatif lainnya lagi, mungkin hukuman ini lebih tegas. Menurut al-Mawardi yang menjadikan pacaran menjadi percobaan tindak pidana, hukuman-hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman ta’zir yang sangat bergantung kepada penguasa atau hakim.

Menurut beliau, Jika berduaan dan berpelukan tanpa pakaian namun belum sampai bersetubuh dikenakan hukuman cambuk sebanyak 60 kali.Ngobrol berduaan dalam satu kamar / rumah maka dikenakan hukuman cambuk 30 kali. Jika ngobrol dijalanan maka dikenakan 20 kali cambukan. Jika saling mengikuti dengan saling memberikan isyarat maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak 10 kali. Hukuman-hukuman tersebut sejalan dengan adanya perintah untuk menjaga pandangan dan kemaluan yang terdapat dalam firman Allah yaitu:
ْ Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya,” (QS. an-Nûr: 30)
Yang pada ayat di atas, menjelaskan betapa pentingnya bagi manusia khususnya laki- laki untuk menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan juga betapa pentingnya kita untuk tidak mendekati zina. Berarti bukan hanya zina yang dilarang tetapi hal-hal yang membawa kita kepada perebuatan zina juga dilarang. Dan demi terealisasinya itu dibutuhkan sebuah hukuman.


D. Kesimpulan
Saya berkesimpualan bahwa pacaran bisa menjadi sebuah percobaan tindak pidana zina, berdasarkan dalil-dalil yang saya kemukakan di atas dan tidak menutup kemungkinan si pelaku juga dapat di jatuhi hukuman.
Demikianlah pembahasan mengenai pacaran dan percobaan tindak pidana zina dalam artikel ini. Mudah-mudahan artikel ini menjadi sebuah pelajaran maupun pertimbangan untuk menghindari pacaran yang di dalamnya dipenuhi oleh perbuatan-perbuatan maksiat maupun perbuatan yang melanggar kesopanan. Terima kasih atas perhatiannya, segala kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaklumi dan dimaafkan, kerena penulis juga manusia yang tidak sempurna. Alhamdulillah...



[1] Istilah khalwat dapat mengacu kepada hal-hal yang negatif, yaitu seorang pria dan seorang wanita berada ditempat sunyi dan sepi serta terhindar dari pandangan orang lain. Sehingga sangat memungkinkan mereka berbuat maksiat. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, cet. V (Jakarta: PT. Ichtisar Baru Van Hoeve, 2001), III: 898.

[2] Makhrus Munajat, Fikih Jinayah (Hukum Pidana Islam), cet. II (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2010) hal. 35
[3] Maksiat ialah suatu perbuatan yyang tidak mengikuti apa yang telah digariskan oleh Allah. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, cet. V (Jakarta: PT. Ichtisar Baru Van Hoeve, 2001), IV: 1088.

[4] Dikutip oleh Makhrus Munajat, Fikih Jinayah (Hukum Pidana Islam), cet. II (Yogyakarta: Pesantren Nawese Press,2010. Hal.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar