Total Tayangan Halaman

Senin, 15 November 2010

'Uqubat zina dalam hukum Fiqh dan Hukum Pidana Nasional




‘UQUBAT BAGI PELAKU JARIMAH ZINA DALAM FIQIH DAN HUKUM PIDANA NASIONAL


A.    Pengertian ‘Uqubat
Hukuman atau hukum pidana dalam Islam disebut “al-Uqubat” dari kata “al-Uqubah” meliputi hal-hal yang merugikan atau kriminal. Hanya ada sedikit perbedaan antara kedua hal tersebut. Syari’ah menekankan hak-hak semua individu secara umum. Hukum yang memberi kesempatan “penyembuhan” kepada masyarakat adalah perkara pidana, dan kalau dijatuhkan kepada perorangan adalah hal yang merugikan disebut delik aduan.
‘Uqubat di dalam Hukum Pidana Nasional dikenal dengan istilah Hukuman dan Ancaman Pidana. Dalam hukum pidana nasional, banyak pakar hukum memberikan pemahaman tentang arti dari hukuman dan ancaman pidana. Seperti yang disebutkan oleh Adami Chazawi, ancaman pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah in kongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana.[1]
Sedangkan menurut Yan Pramadya Puspa, hukuman adalah : “suatu keputusan yang dijatuhkan oleh hakim pada akhir sidang Pengadilan dengan vonis kepada siapapun yang melanggar Hukum Pidana, hukum tersebut oleh si pelanggar sebagai suatu perasaan tidak enak”.[2] Dan juga menurut L. J. Van Apeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum, mengatakan bahwa Hukuman adalah akibat mutlak dari suatu deliet, balasan dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.[3]
Hukuman (punishment) adalah sebuah cara untuk mengarahkan sebuah tingkah laku agar sesuai dengan tingkah laku yang berlaku secara umum. Dalam hal ini, hukuman diberikan ketika sebuah tingkah laku yang tidak diharapkan ditampilkan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang bersangkutan tidak memberikan respon atau tidak menampilkan sebuah tingkah laku yang diharapkan.
Secara umum hukuman dalam hukum adalah sanksi fisik maupun psikis untuk kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan. Hukuman mengajarkan tentang apa yang tidak boleh dilakukan.[4]
Tindak pidana yang dapat dihukum dalam syari’ah yaitu tindakan yang mempengaruhi masyarakat. Al-Qur’an telah merincikannya, seperti pembunuhan (qatl), perampokan (hirabah), pencurian (sariqah), perzinaan (zina) dan tuduhan zina (qadhaf). Penulis akan membahas tindak pidana zina ini dan hukumnya beserta jenis dan unsur-unsur dan bentuk zina secara terperinci.

B.     Zina dan Unsur-Unsur Pidana
1.      Pengertian Zina
Hukum Islam dan hukum Pidana Nasional berbeda pandangannya dalam masalah zina. Hukum Islam memandang setiap hubungan kelamin di luar nikah sebagai zina dan mengancamnya dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum, dilakukan dengan cara suka sama suka atau tidak.
Sebaliknya, di dalam hukum pidana nasional tidak memandang semua hubungan kelamin di luar perkawinan sebagai zina. Pada umumnya, yang dianggap sebagai zina menurut hukum pidana Nasional itu hanyalah hubungan kelamin di luar nikah, yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam status bersuami atau beristri saja. Selain dari itu tidak dianggap sebagai zina, kecuali terjadi pemerkosaan atau pelanggaran kehormatan.
Di bawah ini penulis akan mencoba memberi pengertian dari 2 sistem hukum, yaitu dari hukum Islam dan hukum Pidana Nasional.
a.      Menurut Hukum Islam
Zina berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata (زني) berarti berzina atau persetubuhan secara haram.
Menurut Abd Aziz Dahlan zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat oleh suatu perkawinan tanpa disertai oleh suatu unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut dan tidak ada hubungan pemilikan seperti tuan dengan budaknya.[5]
Zina adalah termasuk perbuatan yang amat keji (fahisyah) dan ianya adalah kelakuan yang paling buruk.[6] Berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an :
ولا تـقربوا الزنى إنه كــان فــاحســة وســاء ســبيلا (سورة الاسراء : ٢٣)
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ : 32).
Ibn Rusyd memberi pengertian zina sebagai berikut ; “Zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah, dan bukan pula karena kepemilikan”.[7]
Para ulama dalam memberikan defenisi zina ini berbeda redaksinya, namun dalam substansinya hampir sama. Di bawah ini akan penulis kemukakan empat definisi menurut mazhab yang empat.

1.      Pendapat Hanafiah
اما الزنا فهو اسم اللوطء الحرام فى قبل المرأة الحيّة فى حالة الإختيار فى دار العدل ممن التزم احكام الإسلام العارى عن حقيقة الملك وعن شبهته
Artinya : “Zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.[8]

2.      Pendapat Malikiyah
Malikiyah sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, memberikan definisi sebagai berikut.
الزِّناَ وطء مكلّف فرج أدمىّ لاملك له فيه باتّفاق تعمّدًا
Artinya : “zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukalaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.[9]

3.      Pendapat Syafi’iyah
الزنا هو إيلاج الذكر بفرج محرم لعينه خال من الشبهة مشتهى طبعا
Artinya :     Zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.[10]

4.      Pendapat Hanabilah
الزنا هو فعل الفاحشة فى قبل أو دبر
Artinya : zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.[11]

Jika kita perhatikan pada keempat definisi yang telah diberikan oleh imam empat mazhab tersebut, terdapat perbedaan pada redaksi dan kalimatnya, namun pada intinya sama, yaitu zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan di luar nikah. Dan jika kita perhatikan pada definisi Hambali, disitu lebih memberikan pemaknaan yang lebih singkat, yang menyatakan bahwa zina adalah setiap perbuatan keji yang dilakukan terhadap qubul (kelamin) atau dubur. Dengan demikian, Imam Hanbali menegaskan dalam definisinya bahwa hubungan kelamin terhadap dubur dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman had.
b.      Menurut Hukum Pidana Nasional
Ketentuan hukum pidana Indonesia (KUHP) mengenai delik perzinahan memiliki pengertian yang berbeda dengan konsepsi yang diberikan masyarakat. Menurut KUHP, zina diidentikkan dengan “overspel” yang pengertiannya jauh lebih sempit dari pada zina itu sendiri. Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Overspel dapat ditindak dengan hukum pidana jika ada pengaduan dari istri atau suami pelaku. Tanpa adanya pengaduan, atau tanpa diadukan oleh istri/suami, maka tindak pidana perzinahan bukan sebagai hal yang terlarang.
Hal ini berbeda dengan konsepsi masyarakat atau bangsa Indonesia yang komunal dan religius. Setiap bentuk perzinahan, baik telah terikat tali perkawinan maupun belum, merupakan perbuatan tabu yang melanggar nilai-nilai kesusilaan. Konsepsi masyarakat seperti ini tidak dapat berarti banyak jika hukum pidana Nasional mendatang tidak mengakomodasi dalam ketentuannya.
Hukum Pidana Nasional (KUHP) yang nama aslinya Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), merupakan produk asli bangsa Belanda yang diterapkan bagi bangsa Indonesia. Baru kemudian dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut berubah nama menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), dan dapat disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perubahan nama itu diikuti dengan perubahan istilah, penambahan beberapa tindak pidana, dan perubahan ancaman hukuman yang sifatnya tambal sulam agar tampak lebih meng-Indonesia.
Setelah sekian lama KUHP tersebut berlaku di Indonesia, terbukti masih saja menyisakan berbagai masalah sosial di Indonesia. Permasalahan-permasalahan sosial yang muncul, tidak secara otomatis kemudian selesai dengan hanya menerapkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut. Ada banyak faktor sosiologis bangsa Indonesia yang membuat KUHP itu malah merugikan bangsa. Apalagi, perkembangan teknologi yang sedemikian global membuat KUHP lebih tampak usang, out of date. Secara lebih mendasar KUHP memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic family. The Romano-Germanic Family ini dipengaruhi oleh ajaran yang  menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right). Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Masalah delik perzinahan merupakan salah satu contoh aktual adanya benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP dengan kepentingan atau nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di masyarakat, acapkali menimbulkan kejahatan baru seperti pembunuhan, penganiayaan, atau main hakim sendiri. Hal ini diperparah dengan lemahnya praktek penegakan hukum.
Dalam hukum pidana nasional, zina disebut juga overspel. Hal ini di pengaruhi oleh bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina. Sedangkan pendapat lain menggunakan istilah mukah atau gendek.
Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya Moelyatno, Andi Hamzah, R. Soesilo, Soenarto, Soerodibroto atau terjemahan KUHP dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman.
Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taag kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw yang kurang lebih berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Menurut putusan Hooge Raad tanggal 16 Mei 1946, overspel berarti sebagai berikut:
“is niet begrepenvleeselijk gemeenschap met een derde onder goedkeuring van den anderen echtgenoot. De daad is dan geen schending van de huwelijk strouw. I.c. was de man souteneur; hij had zijn vrouw tot publiek vrouw gemaakt. Hij keurde haar levenswijze zonder voorbehoud goed”.

Artinya :
“di dalamnya tidak termasuk hubungan kelamin dengan seorang ketiga dengan persetujuan suami atau isterinya, perbuatan itu bukan pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan yaitu andaikata suaminya adalah germo maka dia telah membuat isterinya menjadi pelacur, ia menganggap cara hidupnya itu lebih baik tanpa pengecualian.
Demikian pula overspel menurut Noyon-Langemayer yang menegaskan bahwa overspel kan aller door een gehuwde gepleegd woorden; de  angehuwde met wie het gepleegd wordt is volgent de wet medepleger, yang artinya perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah; yang tersangkut dalam perbuatan itu adalah turut serta (medepleger).[12]
Pengertian lain yang dapat dilihat dari kata zina ialah persetubuhan di luar perkawinan yang sah, dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik masing-masing sedang terikat perkawinan yang sah, sudah pernah hubungan kelamin dalam ikatan nikah yang sah dan sekarang menjadi duda atau janda, maupun jejaka atau gadis. Setiap hubungan kelamin tanpa nikah terlebih dahulu adalah zina.
Sedangkan menurut Hukum Pidana Nasional sebagaimana pendapat Susilo : “zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Patut diperhatikan bahwasanya persetubuhan yang terjadi dalam konteks Pasal 284 KUHP haruslah terjadi karena suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

2. Unsur-Unsur Pidana Zina
a.      Menurut Hukum Islam
Dari devinisi yang dikemukakan oleh para ulama tersebut terdahulu dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah zina itu ada dua, yaitu:[13]
  1. persetubuhan yang diharamkan
  2. adanya kesengajaan atau niat melawan hukum
1. Persetubuhan Yang Diharamkan
Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah persetubuhan dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap sebagai zina walaupun ada penghalang antara zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan), selama penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.
Di samping itu, kaidah untuk menentukan persetubuhan sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri. Dengan demikian, apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak milik sendiri karena perikatan perkawinan maka persetubuhan tersebut tidak dianggap zina, walaupun persetubuhannya itu diharamkan karena suatu sebab. Hal ini karena hukum haramnya persetubuhan tersebut datang belakangan karena adanya suatu sebab bukan karena zat. Contohnya, seperti menyetubuhi istri yang sedang haid, nifas, atau sedang berpuasa ramadhan. Persetubuhan ini semuanya terlarang, tetapi tidak dianggap sebagai zina.
Apabila persetubuhan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut maka tidak dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had, melainkan hanya tergolong kepada perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir, walaupun perbuatannya itu pendahuluan dari zina. Contohnya seperti mufakhazhah (memaksakan penis diantara dua paha), atau memasukkannya ke dalam mulut, atau sentuhan-sentuhan di luar farji. Demikian pula perbuatan maksiat yang lain yang juga merupakan pendahuluan dari zina dikenai hukuman ta’zir. Contohnya seperti ciuman, berpelukan, bersunyi-sunyi dengan wanita asing (bukan muhrim), atau tidur bersamanya dalam satu ranjang. Perbuatan-perbuatan ini dan semacamnya yang merupakan rangsangan terhadap perbuatan zina merupakan maksiat yang harus dikenai hukuman ta’zir. Larangan terhadap perbuatan-perbuatan tersebut tercakup dalam firman Allah Surah Al-Israa’ ayat 32:
ولا تـقربوا الزنى إنه كــان فــاحســة وســاء ســبيلا (سورة الاسراء : ٢٣)


Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ : 32)

Sedangkan diharamkannya berkumpul di tempat yang sunyi dengan wanita asing (bukan muhrim) dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Rasulullah bersabda :
لا يخلون أحدكم بامرأة ليست له بمحرم فان ثالثهما الشيطان
Artinya :”Tidaklah diperkenankan salah seorang di antara kamu bersunyi-sunyi dengan wanita yang bukan muhrim, karena orang ketiga di antara keduanya adalah setan.[14]

Di samping itu, dalam syari’at Islam terdapat suatu kaidah yang berbunyi :
إن ما أدى إلى الحرام فهو حرام
Artinya :”setiap perbuatan yang mendatangkan kepada haram maka hukumnya adalah haram[15].
Dengan demikian, berdasarkan kaidah ini setiap perbuatan yang pada akhirnya akan mendatangkan dan menjuruskan kepada perbuatan zina merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman ta’zir.
Meskipun pada umumnya para fuqaha telah sepakat bahwa yang dianggap zina itu adalah persetubuhan terhadap farji manusia yang masih hidup, namun dalam penerapannya terhadap kasus-kasus tertentu mereka kadang-kadang berbeda pendapat.
Seperti kasus perkawinan setelah terjadinya zina. Perkawinan yang menyususl setelah terjadinya perbuatan zina dianggap sebagai syubhat yang menggugurkan hukuman had. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, menurut riwayat Abu Yusuf. Akan tetapi menurut riwayat Muhammad bin Hasan, perkawinan tersebut dianggap sebagai syubhat, karena perkawinan tersebut jelas yang terjadi sebelum terjadinya hal milik. Di samping itu, perkawinan tersebut tidak berlaku surut, sehingga tidak dapat menghalalkan persetubuhan itu.
Pendapat kedua dari mazhab Hanafi ini sesuai dengan pendapat jumhur fuqaha. Menurut jumhur seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita kemudian ia mengawininya setelah itu maka perkwinannya itu tidak ada pengaruhnya terhadap jarimah yang dilakukan itu (zina) dan terhadap hukumannya. Dengan demikian pelaku tetap dikenakan hukuman had, karena dalam kasus ini tidak ada syubhat.[16]




2. Adanya Kesengajaan atau Niat yang Melawan Hukum
Unsur yang kedua dari jarimah zina adalah adanya niat dari pelaku yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita yang haram baginya. Dengan demikian, apabila seseorang mengerjakan suatu perbuatan dengan sengaja, tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan yang dilakukannya haram maka ia tidak dikenai hukuman had. Contohnya seperti seorang yang menikah dengan seorang wanita yang sebenarnya mempunyai suami tetapi dirahasiakan kepadanya. Apabila terjadi persetubuhan setelah dilaksanakannya perkawinan tersebut maka suami tidak dikenai pertanggungjawaban (tuntutan) selama ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita itu masih dalam ikatan perkawainan dengan suami yang terdahulu. Contoh lainnya seperti seorang wanita menyerahkan dirinya kepada bekas suaminya yang telah menalaknya dengan talak bain dan wanita itu tidak tahu bahwa suaminya telah menalaknya.
Unsur melawan hukum atau kesengajaan berbuat ini harus berbarengan dengan melakukan perbuatan yang diharamkannya itu, bukan sebelumnya. Artinya, niat melawan hukum tersebut harus ada pada saat dilakukannya perbuatan yang dilarang itu. Apabila pada saat dilakukannya perbuatan yang dilarang niat yang melawan hukum itu tidak ada meskipun sebelumnya ada maka pelaku tidak dikenai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya. Contohnya seperti seseorang yang bermaksud melakukan zina dengan wanita pembantunya, tetapi setelah ia memasuki kamarnya yang didapatinya adalah istrinya dan persetubuhan dilakukan dengan istrinya itu maka perbuatannya itu tidak dianggap sebagai zina, karena pada saat dilakukannya perbuatan itu tidak ada niat melawan hukum. Contoh lain seperti seseorang yang bermaksud melakukan persetubuhan dengan seorang wanita yang bukan istrinya, tetapi kemudian terdapat kekeliruan dan yang disetubuhinya itu sebenarnya istrinya sendiri maka perbuatannya itu tidak dianggap sebagai zina, karena persetubuhan yang dilakukannya bukan persetubuhan yang dilarang.
Alasan tidak tahu hukum tidak sama dengan tidak melawan hukum. Pada prinsipnya di negeri Islam alasan tidak tahu tidak bisa diterima sebagai alasan untuk hapusnya pertanggungjwaban pidana. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan zina dengan alasan tidak tahu bahwa zina itu diharamkan maka alasannya itu tidak bisa diterima. Artinya, alasan tidak tahunya itu tidak dapat menghilangkan niat melawan hukum atas perbuatan zina yang telah dilakukannya. Akan tetapi, para fuqaha membolehkan penggunaan alasan tidak tahu hukum dari orang karena beberapa hal sulit baginya untuk mengetahui hukum. Misalnya, seorang muslim yang baru saja menyatakan keislamannya tetapi lingkungan tempat tinggalnya bukan lingkungan Islam, sehingga sulit baginya untuk mempelajari hukum-hukum Islam. Atau contoh lain seperti orang yang gila kemudian sembuh tetapi ingatannya belum sadar betul bahwa zina itu dilarang oleh hukum. Dalam contoh-contoh ini dan yang semacamnya, alasan tidak tahu hukum merupakan sebab dan alasan untuk hilangnya unsur melawan hukum.
Apabila seseorang mengaku tidak tahu tentang fasid atau batalnya suatu pernikahan yang mengakibatkan persetubuhannya bisa dianggap sebagai zina, sebagian ulama berpendapat bahwa alasan tidak tahunya itu tidak dapat diterima, karena hal itu bisa mengakibatkan gugurnya hukuman had. Di samping itu, merupakan kewajiban setiap orang untuk mengetahui setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa alasan tidak tahunya itu diterima, dengan alasan bahwa untuk mengetahui hukum diperlukan pemahaman dan kadang-kadang hal itu sulit bagi orang yang bukan ahlinya. Dengan demikian, menurut pendapat yang kedua tidak tahu hukum tersebut merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had, tetapi tidak membebaskannya dari hukuman ta’zir. Mereka beralasan juga dengan keputusan sahabat dalam masalah seorang wanita yang kawin dalam masa iddahnya pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Ketika peristiwa itu diajukan kepada Khalifah Umar, beliau menanyakan kepada pasangan tersebut : “apakah kalian berdua mengetahui bahwa perkawinan macam ini dilarang?” Keduanya menjawab : “Tidak”. Maka Sayyidina Umar berkata : “Andaikata kalian berdua mengetahui maka saya pasti merajam anda.” Kemudian Sayyidina Umar menjilid keduanya dengan beberapa cambukan dan menceraikan keduanya.
Perlu diperhatikan bahwa terdapat perbedaan antara diterimanya alasan tidak tahu tentang haramnya zina dengan diterimanya alasan tidak tahu tentang fasid atau batalnya suatu perkawinan. Diterimanya alasan tidak tahu tentang haramnya zina mengakibatkan dibebaskannya pelaku dari hukuman, karena hapusnya niat yang melawan hukum dari pelaku. Adapun diterimanya alasan tidak tahu mengenai fasid atau batalnya perkawinan, bagi golongan yang menerimanya, tidak menghapuskan niat yang melawan hukuman had dan tidak mengahalangi dikenakannya hukuman ta’zir.

b.      Menurut Hukum Pidana Nasional
Lihat ketentuan Pasal 284 sedemikian rupa, maka overspel yang dapat dikenai sanksi pidana menurut KUHP adalah:
a.            Persetubuhan dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. Apabila pasangan ini belum menikah kedua-kedunaya, maka persetubuhan mereka tidak dapat dikualifikasikan sebagai overspel, hal mana berbeda dengan pengertian berzina yang menganggap persetubuhan antara pasangan yang belum menikah juga termasuk di dalamnya.
b.           Partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Ini berarti apabila partner yang disetubuhi telah menikah juga, yang bersangkutan dianggap bukan sebagai peserta pelaku.
c.            Persetubuhan tidak direstui oleh suami atau pun isteri yang bersangkutan. Secara a contrario dapat dikatakan kalau persetubuhan itu direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan maka itu bukan termasuk overspel.
Menurut asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana merupakan syarat-syarat untuk menentukan sampai di mana perbuatan seorang manusia dapat dikenakan hukuman atau pidana. Unsur-unsur itu meliputi perbuatan manusia yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum serta unsur orang atau pelakunya, yakni adanya kesalahan pada diri pelaku.
Delik perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP yang rumusan aslinya menggunakan bahasa Belanda, yaitu :
1.      Met gevangenisstraf van ten hoogste negen maanden wordt gestraft:
1)                      a. de gehuwde man die wetende dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is, overspel pleegt;
b. de gehuwde vrouw die overspel pleegt;
2)                      a. de man die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd is;

b.  de ongehuwde vrouw die het feit medepleegt, wetende dat de medeschuldige gehuwd en dat art. 27 van het Burgerlijk Wetboek op hem toepasselijk is.
2.      Geene vervolging heeft plaats dan op de klachte van den beledigden echtgenoot, gevolgd indien op de echtgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek toepasselijk is, binnen den tijd van drie maanden door een eis tot echtscheiding of scheiding van tafel en bed op grond vanhetzelfde feit.
3.      Ten aanzien van deze klachte zijn de art. 72, 73 en 75 niet van toepassing.
4.      De klachte kan worden ingetrokken zolang het onderzoek ter terechtzitting niet is aangevangen.
5.      Indien op de echgenoten art. 27 van het Burgerlijk Wetboek toepasselijkis,wordt aan de klachte geen gevolg gegeven, zolang niet het huwelijk door echtscheiding is ontbonden of het vonnis, waarbij scheiding van tafel en bed is uit gesproken, onherroepelijk is geworden.[17]

Tindak pidana perzinahan atau overspel yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP ayat (1) KUHP itu merupakan suatu opzettleijk delict atau merupakan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja.[18]Ini berarti bahwa unsur kesengajaan itu harus terbukti pada si pelaku agar ia dapat terbukti sengaja dalam melakukan salah satu tindak pidana perzinahan dari tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Adapun mengenai kesengajaan ini, KUHP tidak memberikan definisi secara jelas. Petunjuk untuk mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie van Toelchting (MvT) yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wettens). Sehingga dapat dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan.[19] Apabila unsur kesengajaan dari pelaku zina ini tidak dapat dibuktikan maka pelaku tidak terbukti menghendaki atau tidak terbukti mengetahui perzinahan yang dilakukan, sehingga hakim harus memutuskan bebas dari tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) bagi pelaku.
Menurut Simons, untuk adanya suatu perzinahan menurut Pasal 284 KUHP itu diperlukan adnya suatu vleeslijk gemeenschap atau diperlukan adanya suatu hubungan alat-alat kelamin yang selesai dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita.[20] Sehingga apabila dilakukan oleh dua orang yang berjenis kelamin sama bukan merupakan perzinahan yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP. Syarat lain yang perlu diperhatikan agar perbuatan melakukan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya telah kawin dapat disebut sebagai delik perzinahan menurut KUHP adalah bahwa tidak adanya persetujuan di antara suami isteri itu. Artinya jika ada persetujuan di antara suami dan isteri, misal suami yang bekerja sebagai mucikari dan isterinya menjadi pelacur bawahannya maka perbuatan semacam itu bukanlah termasuk perbuatan zina. Hal ini didasarkan pada Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 16 Mei 1946 N.J. 1946 Nomor 523 yang telah disebutkan di muka.
Adapun unsur-unsur pasal 284 KUHP adalah sebagai berikut :
1. Unsur Pasal 284 (1) ke-1 sub a ;
-        seorang pria
-        telah nikah
-        melakukan zina
-        padanya berlaku Pasal 27 BW.
2. Unsur Pasal 284 (1) ke-1 sub b ;
-        seorang wanita
-        telah menikah
-        melakukan zina
3. Unsur Pasal 284 (1) ke-2 sub a ;
-        seorang pria
-        turut serta
-        melakukan zina
-        diketahui yang turut bersalah telah nikah
4. Unsur Pasal 284 (1) ke-2 sub b ;
-        Seorang wanita
-        Telah nikah
-        Turut serta
-        Melakukan zina
-        Diketahui :
-        Yang turut bersalah telah nikah
-        Padanya berlaku Pasal 27 BW.
Berikut ini akan diuraikan unsur-unsur Pasal 284 KUHP untuk selanjutnya masing-masing unsur akan ditafsirkan makna atau pengertiannya. Agar lebih jelas di bawah ini akan diuraikan satu per satu dari bagian Pasal 284 KUHP.
1. Pasal 284 ayat (1)
Ayat (1) dari Pasal 284 KUHP ini terdiri dari dua angka yang masing-masing terdiri atas dua huruf, yaitu :
Ke-1   a.    Laki-laki beristri, yang berzina, sedangkan diketahuinya bahwa Pasal 27 Burgerlijk Wetboek berlaku baginya.
b.    Perempuan bersuami, yang berzina Berdasarkan ketentuan demikian, maka seorang pria dapat didakwa melakukan zina apabila telah memenuhi unsur:
a.  Pria tersebut telah menikah;
b. Pria tersebut telah mengetahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
Oleh karena itu, apabila seorang pria yang melakukan perzinahan itu telah menikah akan tetapi Pasal 27 BW tidak berlaku baginya maka pria tersebut tidak dapat didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP, melainkan pria tersebut didakwa dengan Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a  KUHP, yakni jika pria tersebut memang mengetahui bahwa wanita yang berzina dengan dirinya itu telah terikat perkawinan dengan pria lain. Karena dalam ketentuan ini wanita tidak disyaratkan tunduk pada Pasal 27 BW.
Di dalam rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP juga disyaratkan adanya pengetahuan dari pelaku, yakni bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW itu berlaku bagi dirinya. Apabila ternyata di dalam persidangan yang memeriksa perkaraperzinahan, syarat pengetahuan berlakunya ketentuan Pasal 27 BW itu tidak dapat dibuktikan oleh penuntut umum maka hakim harusmemberikan putusan bebas (vrijspraak) bagi pelaku.
Adapun Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) yang dijadikan salah satu unsur dari tindak pidana perzinahan itu berbunyi sebagai berikut :
“Pada saat yang sama, seorang pria hanya dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang wanita, dan seorang wanita hanya dapat terikat oleh suatu perkawinan dengan seorang pria”.

Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf b menentukan larangan bagi seorang wanita yang telah menikah melakukan perzinahan dengan seorang pria. Berdasarkan ketentuan ini dapat diambil pengertian bahwa seorang wanita didakwa melakukan zina apabila telah memenuhi satu unsur saja, yakni dia telah menikah. Wanita itu tidak diharuskan tunduk pada Pasal 27 BW sebagaimana seorang laki-laki yang berzina, karena undang-undang telah menentukan secara umum tentang dapat dipidananya seorang wanita yang telah menikah yang melakukan suatu perzinahan.
Ke-2    a.              Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahuinya bahwa yang turut bersalah, sudah bersuami. Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a di atas mengatur larangan bagi seorang pria turut melakukan perzinahan dengan seorang wanita, yang ia ketahui bahwa wanita tersebut berada dalam keadaan menikah dengan pria lain. Dari ketentuan seperti ini seorang pria dapat diancam pidana sembilan bulan penjara karena turut melakukan (medeplegen) perzinahan jika:
a. Pria tersebut tidak berada dalam keadaan menikah dengan wanita lain atau sudah menikah tetapi Pasal 27 BW tidak berlaku baginya;
b. Pria tersebut mengetahui bahwa wanita yang ia zinahi itu sudah menikah dengan pria lain.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a, angka 2 huruf a inipun tidak mensyaratkan adanya wanita yang tunduk pada Pasal 27 BW. Jadi tidak mempermasalahkan apakah wanita tersebut tunduk pada Pasal 27 ataupun tidak. Dalam undangundang ditentukan secara umum tentang dapat dipidananya seorang pria yang turut melakukan perzinahan dengan wanita yang bersuami.
Pada Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a inipun disyaratkan adanya pengetahuan dari seorang pria yang turut melakukan perbuatan zina bahwa wanita yang dia zinahi telah beristeri.
Ke-2    b. Perempuan yang tidak bersuami, yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahuinya, bahwa yang turut bersalah sudah beristeri dan Pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW) berlaku baginya.
Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf b menentukan larangan bagi  seorang wanita yang tidak menikah turut melakukan perzinahan dengan seorang pria, yang ia ketahui bahwa pria tersebut berada dalam keadaan  menikah dengan wanita lain, dan yang ia ketahui pula bahwa ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 BW berlaku bagi pria itu. 
Dengan demikian seorang wanita dapat diancam pidana sembilan bulan karena turut melakukan perzinahan jika:
a.       Wanita tersebut tidak dalam keadaan menikah;
b.      Wanita tersebut mengetahui bahwa pria lawan mainnya sudah beristeri;
c.       Wanita tersebut mengetahui bahwa atas pria lawan mainnya itu diberlakukan ketentuan Pasal 27 BW.
Pasal ini juga mensyaratkan adanya pengetahuan dari pihak wanita, bahwa ia mengetahui ketentuan Pasal 27 BW berlaku bagi si pria. Sehingga apabila dalam persidangan yang memeriksa perkara itu tidak terbukti bahwa wanita itu mengetahui maka bagi hakim harus memberikan putusan bebas (vrijspraak) bagi wanita.
Berdasarkan rumusan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a dan b KUHP di atas dapat diketahui bahwa hanya pria dan wanita yang telah menikah sajalah yang dapat disebut sebagai pelaku perzinahan.
Sedangkan pria dan wanita yang belum menikah, menurut Pasal 284 ayat (1) angka 2 huruf a dan b KUHP, dipandang sebagai orang yang turut serta melakukan perzinahan.
2. Pasal 284 ayat (2) KUHP
Selengkapnya, bunyi Pasal 284 ayat (2) itu adalah sebagai berikut:
“Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW , dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga”.

Ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP berisi bahwa undang-undang menentukan terhadap pelaku tindak pidana-tindak pidana perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP itu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan dari suami atau isteri yang tercemar. Apabila bagi suami dan isteri itu berlaku Pasal 27 BW maka dalam tempo tiga bulan dari pengaduan tersebut harus diikuti dengan gugatan perceraian yang disebabkan karena terjadinya perzinahan itu.
Berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHP di atas, dapat diketahui bahwa delik perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP merupakan delik aduan absolut (absolute klachtdelicten). Artinya, dalam keadaan apapun delik perzinahan merupakan delik aduan. Adanya aduan ini merupakan syarat mutlak agar pelaku-pelakunya dapat dituntut (voorwarde van vervolgbaasheid) secara pidana.
Alasan yang mendasari pemikiran bahwa delik perzinahan itu merupakan delik yang digantungkan pada adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirinya telah dirugikan oleh para pelakunya, laporan Tweede Kamer menjelaskan karena jika tidak ditentukan demikian maka hubungan-hubungan yang sifatnya khusus dalam keluarga itu seringkali akan menjadi terganggu tanpa guna. Selain itu apabila pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku ternyata tidak mempunyai keinginan untuk mengajukan gugatan perceraian atau gugatan perceraian dari meja makan dan tempat tidur maka tidak terdapat suatu dasar yang kuat untuk memberikan wewenang kepada pihak tersebut yakni untuk meminta kepada alat-alat negara agar terhadap pihak-pihak yang telah merugikan dirinya itu dilakukan penuntutan menurut hukum pidana.
Sementara itu Hooge Raad dalam Arrestnya tanggal 24  Oktober 1932 N.J. 1932 menentukan bahwa :
“kejahatan ini hanya dapat dituntut jika ada pengaduan, yakni bukan karena adanya hubungan pribadi antara orang yang terhina dengan para pelaku, melainkan karena sifatnya yang khusus dari kejahatan ini. Semua orang yang terlibat di dalamnya dalam salah satu bentuk keturutsertaan, termasuk juga orang yang telah menggerakkan para pelaku untuk melakukan kejahatan ini, hanya dapat dituntut setelah adanya pengaduan”[21].

Adanya keterangan dari Hooge Raad di atas menjelaskan adanya ketentuan antara pelaku (dader) dengan pihak-pihak yang turut serta dalam delik perzinahan sehingga delik perzinahan itu dapat terjadi.
Proses penyidikan dari kepolisian tidak hanya melakukan penyidikan terhadap orang yang diadukan oleh pengadu melainkan juga terhadap orang-orang yang terlibat dalam kejahatan itu, misalnya orang yang menyuruh lakukan (doenpleger), orang yang turut melakukan (medepleger) atau orang yang menggerakkan (oitlokker).
Hal ini pernah diputuskan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan kasasinya tanggal 19 Maret 1955 Nomor 52 K/Kr/1953:
“Pasal 284 KUHP itu merupakan suatu absoluut klachdelict sehingga pengaduan terhadap laki-laki yang melakukan perzinahan juga merupakan pengaduan terhadap isteri yang berzinah, sedang jaksa berwenang untuk atas oportunitas hanya mengadakan penuntutan terhadap salah seorang dari mereka”.
3. Pasal 284 ayat (3) KUHP
Pasal 284 ayat (3) KUHP berbunyi sebagai berikut :
“Bagi pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75”.

Ketentuan ini mengatur bahwa undang-undang menentukan bagi gugatan yang dimaksudkan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP itu tidak berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 72, 73 dan 75 KUHP. Adapun ketentuan yang diatur dalam pasal -pasal itu adalah
Pasal 72
1)      Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, umurnya belum cukup umur enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain dari pada keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata.
2)      Jika wakil itu tidak ada atau ia sendiri yang harus diadukan maka penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau wali pengampu atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas atau kewajiban wali pengampu itu. Demikian juga atas pengaduan istri atau seorang keluarga sedarah dalam turunan yang lurus, atau bila tidak ada keluarga sedarah itu, atas pengaduan sedarah dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ke tiga.

Pasal 73
Jika orang yang terkena kejahatan itu meninggal dunia dalam tempo yang ditetapkan dalam pasal berikut, maka tanpa menambah tempo itu, penuntutan dapat dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya atau suami/isterinya yang masih hidup kecuali jika dapat dibuktikan bahwa yang meninggal itu tidak menghendaki penuntutan.

Pasal 75
Barangsiapa mengajukan penuntutan, ia berhak akan menarik kembali pengaduannya dalam tempo tiga bulan terhitung mulai pengaduan diadukan.

Tidak diberlakukannya Pasal 72, Pasal 73 dan Pasal 75 merupakan konsekuensi logis dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (2) dan ayat (4). Dalam adagium dikenal lex specialis derogat lex generali, peraturan yang lebih khusus menghapuskan peraturan yang berlaku umum. Pasal 284 ayat (2) ini menghapuskan ketentuan Pasal 72 dan Pasal 73 yang sifatnya lebih umum. Oleh karena itu, yang berhak mengadukan dalam delik perzinahan hanyalah suami atau isteri yang melakukan tindak pidana zina. Sedangkan wakil, keluarga sedarah ataupun orang tuanya tidak berhak atas pengaduan ini. Sedangkan tidak diberlakukannya Pasal 75 KUHP dalam delik perzinahan karena menurut Pasal 284 ayat (4) KUHP pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
4. Pasal 284 ayat (4) KUHP
Pasal 284 ayat (4) KUHP berbunyi :
“Pengaduan ini dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang belum dimulai”.

Ketentuan ini mengatur adanya kesempatan bagi pihak yang mengadukan delik perzinahan untuk melakukan pencabutan kembali pengaduannya. Undang-undang menentukan batas pencabutan pengaduan adalah selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Adapun permulaan pemeriksaan dalam sidang pengadilan adalah ketika hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan sidang dibuka untuk umum. Akan tetapi karena delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan, maka sidang dibuka dan tertutup untuk umum. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP:
(3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua siding membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

5. Pasal 284 ayat (5) KUHP
Pasal 284 ayat (5) KUHP berbunyi :
“Jika bagi suami isteri itu berlaku Pasal 27 BW, maka pengaduan tidak diindahkan sebelum perkawinan diputus karena perceraian, atau sebelum keputusan, yang membebaskan mereka dari pada berdiam serumah, menjadi tetap”.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (5) ini pada dasarnya menentukan bahwa apabila bagi suami isteri yang kedamaian rumah tangganya telah diganggu oleh peristiwa perzinahan yang dilakukan oleh salah satu pihak dari mereka yang berlaku ketentuan dalam Pasal 27 BW, maka pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan tidak akan mempunyai kelanjutan, jika ikatan perkawinan antara mereka itu oleh pengadilan belum diputus oleh perceraian atau jika perceraian dari meja makan dan tempat tidur yang diputuskan oleh pengadilan itu belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Pasal 284 ayat (5) ini merupakan ketentuan yang baru, yang dimasukkan dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan Undang-undang tanggal 15 Januari 1886 yaitu sebelum WvS terbentuk pada tahun 1881 itu diberlakukan secara efektif di negeri Belanda pada tahun 1886.[22]

C. Jenis dan Bentuk Ancaman Pidana bagi Pelaku Zina
Di dalam jarimah zina terdapat berbagai macam jenis-jenis zina dan bentuk-bentuk ancaman pidananya bagi pelaku zina. Yang mana di setiap jenis jarimah zina mempunyai hukuman tersendiri. Di sini penulis akan mencoba memaparkan jenis dan bentuk acaman pidana bagi pelaku zina menurut 2 (dua) sistem hukum, yaitu hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. Pada sistem hukum ini juga terdapat banyak perbedaan dari jenis dan hukuman bagi pelaku zina.

  1. Jenis Zina dan Ancaman Pidana bagi Pelaku Zina menurut Hukum Islam
Pada awal perkembangan Islam, hukuman untuk jarimah zina adalah hanya dipenjarakan di dalam rumah dan disakiti, baik dengan pukulan pada badannya maupun dengan dipermalukan. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah An-Nisaa’ ayat 15 dan 16 :
والتي يأتين الفاحشة من نسائكم فاستشهدوا عليهن أربـــعة منكم فإن شهدوا فامسكوهن فى البيوت حتى يتوفاهن الموت أو يجعل الله لهن سبيلا. والذان يأتيانها منكم فئاذوهما فإن تابا و أصلحا فأعرضوا عنهما إن الله كان توابا رحيما(النساء : ١٦-١٥)
Artinya : “ Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, kehendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian maka kurunglah mereka, (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya (15). Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.(16). (QS. An-Nisaa’ : 15-16)

Selanjutnnya, terjadi perkembangan dan perubahan dalam hukuman zina ini, yaitu dengan turunnya Surah An-Nuur ayat 2, kemudian lebih diperjelas oleh Rasulullah saw. Dengan sunnah qauliah dan fi’liah. Surat an-Nuur ayat 2 berbunyi sebagai berikut :
الزانية و الزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة و لا تأخذكم بهما رأفة فى دين الله إن كنتم تؤمنون باالله و اليوم الاخر و ليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين. (النور : ٢)
Artinya : ”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur:2)

Adapun sunnah qauliah yang menjelaskan hukuman zina antara lain adalah sebagai berikut :

غن عبدة بن الصامت قال : قال رسول الله عليه وســلّم : خذوا غنّى خذوا غنّى قد جعل الله لهن سبيلا. البكربالبـــــكر جلد مائة ونفى سنة والثيّب بالثيب جلد مئة والرجم (رواه الجماعة الا البخارى و النسائى)
Artinya : “Dari Ubadah ibn Ash Shamit ia berkata : Rasulullah saw. Bersabda: “ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesengguhnya Allah telah memberikan jalan ke luar (hukuman) bagi mereka (pezina).jejaka dan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam. (Diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i)

Dengan turunnya Surah An-Nuur ayat 2 dan penjelasan Rasulullah ini maka hukuman untuk penzina yang tercantum dalam Surah An-Nisa’ ayat 15 dan 16 tersebut di atas menjadi hapus (mansukh). Dengan demikian maka hukuman untuk pezina berdasarkan ayat dan hadits di atas dirinci menjadi dua bagian sebagai berikut :
a.       Dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum berkeluarga (ghair muhshan).
b.      Rajam bagi yang sudah berkeluarga (muhshan) di samping dera seratus kali.s
Akan tetapi ulama yang tidak menerima nasikh mansukh, Surah An-Nisaa’ ayat 15 dan 16 tersebut tetap berlaku dan tidak di-nasakh oleh Surah An-Nuur ayat 2. hanya saja penggunaan dan penerapannya yang berbeda. Surah An-Nisaa’ ayat 15 berlaku bagi wanita yang melakukan hubungan intim dengan wanita (lesbian), sedangkan ayat 16 berlaku bagi laki-laki yang melakukan homoseksual (liwath), dan Surah An-Nuur ayat 2 berlaku laki-laki atau wanita yang berzina.[23]

A.          Zina Ghair Muhshan
Dari ayat diatas dan hadits yang telah dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa hukuman zina itu ada dua macam, tergantung kepada keadaan pelakunya apabila ia belum berkeluarga (ghair muhshan) atau sudah berkeluarga (muhshan).

a.      Penzina yang belum Pernah Nikah (Ghair Muhshan)
Zina ghair muhshan diartikan sebagi perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum pernah menikah. Sedangkan penerapan hukuman bagi penzina yang belum pernah menikah ini ada dua macam, yaitu :
1). Dera seratus kali
Menurut jumhur ulama dan ahli hukum Islam sepakat dan tanpa berselisih paham bahwa hukumannya adalah 100 (seratus) kali cambuk[24]. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 2 :
الزانية و الزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة و لا تأخذكم بهما رأفة فى دين الله إن كنتم تؤمنون باالله و اليوم الاخر و ليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين. (النور : ٢)
Artinya :”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur:2)

Hukuman dera adalah hukuman had yaitu hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’[25]. Oleh karena itu, hakim tidak boleh mengurangi, menambah, menunda pelaksanaannya, atau menggantikannya dengan hukuman yang lain.

2). Pengasingan selama satu tahun
Menurut Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa bagi pelaku yang telah terbukti melakukan perbuatan tersebut selain dihukum dengan cambuk juga harus dibuang atau diasingkan selama setahun dari kampung atau wilayah tempat tinggal yang bersangkutan. Hal ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn Ash-Shamit bahwa Rasulullah saw bersabda :
....البــــكـــر بالبـــكــــر جـــلــد مـــائة و نــفي ســنة....
…..Jejaka denga gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun….
Para ahli hukum mempunyai perbedaan pendapat di bagian pembuangan bagi pelaku zina. Imam Syafi’i menyatakan bahwa hukuman tersebut tidak mengenal istilah gender, artinya baik laki-laki maupun perempuan harus dikenakan hukuman cambuk maupun dibuang. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah ibn Samit tersebut.
Sedangkan Imam Maliki dan al-Awzai berpendapat bahwa hanya penzina laki-laki saja yang dihukum cambuk dan diasingkan, karena menurut mereka secara natural kaum perempuan sangat rentan dari serangan dan kesukaran ketika mereka tidak ditemani oleh muhrimnya. Pendapat ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw :
“seorang perempuan yang percaya pada Allah dari hari kiamat tidak melakukan perjalanan sehari semalam sendirian kecuali ditemani oleh muhrim.[26]
Sementara, apabila wanita tersebut diasingkan bersama-sama dengan seorang muhrim maka hal ini berarti mengasingkan orang yang tidak melakukan perbuatan zina dan menghukum orang yang sebenarnya tidak berdosa. Oleh karena itu, Malikiyah mengkhususkan tentang pengasingan tersebut dan membatasinya hanya untuk laki-laki saja dan tidak memberlakukannya bagi perempuan.[27]
Sedangkan Imam Hanifah berpendapat, bahwa hukuman pengasingan tidak perlu diterapkan baik kepada pezina laki-laki maupun pezina perempuan kecuali hukum mempertimbangkan bahwa penetapan hal tersebut dianggap penting dan perlu. Pandangan Imam Hanafi tersebut didasarkan pada pendapat bahwa di dalam Al-Qur’an hukuman yang bagi penzina adalah dicambuk, sementara hukuman pengasingan adalah hukuman tambahan.
Metode dan cara pengasingan pun para fuqaha (ahli hukum Islam) berbeda pendapat dalam pelaksanaannya. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syi’ah Zaidiyah, pengasingan itu pengertiannya adalah penahanan atau dipenjarakan. Adapun menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, pengasingan itu berarti membuang (mengasingkan) pelaku dari daerah terjadinya perbuatan zina ke daerah lain, dengan pengawasan dan tanpa dipenjara.

b.      Penzina yang Pernah Nikah (Muhshan)
Zina Muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri).[28] Hukuman untuk pelaku zina muhshan ini juga mempunyai dua macam hukuman, yaitu ;
1.      Dera seratus kali
2.      Rajam
Nabi Muhammad saw telah menyatakan dalam haditsnya tentang penzina yang muhsan bahwa hukumannya adalah dengan rajam bagi laki-laki dan perempuan dan dicambuk 100 kali bagi penzina yang belum pernah menikah. Penerapan hukuman ini juga pernah dipraktekan oleh para khalifah dalam sejarah kepemimpinannya.
Namun demikian, mengenai hukum rajam para ahli hukum (fuqaha) berbeda pendapat dalam menafsirkan penetapan dalil dan proses pelaksanaan hukuman tersebut.
Para jumhur ulama sepakat bahwa bagi penzina yang muhshan, hukumannya adalah rajam. Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya.[29]hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan diterima oleh hampir semua fuqaha, kecuali kelompok Azariqah dari golongan Khawarij, karena mereka ini tidak mau menerima hadits, kecuali yang sampai kepada tingkatan mutawatir. Menurut mereka (khawarij), hukuman untuk jarimah zina, baik muhshan maupun ghair muhshan adalah hukuman dera seratus kali berdasarkan firman Allah dalam Surah An-Nur ayat 2.[30]
Di dalam Al-Qur’an, tidak terdapat ketetapan yang menyatakan secara khusus mengenai hukuman mati dengan rajam. Melainkan hukuman tersebut didasarkan kepada hadits. Dan pelaksanaan (praktek) tersebut dilakukan sebelum turunnya surah An-Nur ayat 2 tersebut. Sehingga dengan turunnya ayat tersebut, maka dinggap semua bentuk perbuatan zina baik muhshan maupun ghair muhshan didasarkan pada ayat Al-Qur’an yaitu dengan jilid (cambuk) 100 kali cambukan.
Dalam masalah penggabungan antara hukuman jilid (dera) dengan rajam ini para ulama berbeda pendapatnya. Menurut Imam Al-Hasan, Ishak, Ibn Munzhir, golongan Zhahiriyah, Syi’ah Zhaidiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukuman jilid atau dera seratus kali tetap dilaksanakan terhadap zina muhshan di samping hukuman rajam. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukuman untuk zina muhshan cukup dengan rajam saja dan tidak digabung dengan jilid[31].
Di samping itu juga, ada lagi pendapat dari Ubay ibn Ka’ab dan Masruq, yaitu seorang tsayyib (yang sudah bersuami/beristri) yang berzina apabila sudah tua maka ia dihukum jilid dan rajam. Akan tetapi apabila masih muda, ia dirajam saja tanpa jilid.
Adapun syarat-syarat seseorang dapat dikategorikan sebagai muhshan adalah sebagai berikut :
  1. Persetubuhan dalam naungan perkawinan yang sah
  2. Baligh dan berakal
  3. Adanya kesempurnaan syarat untuk kedua belah pihak pada waktu persetubuhan
  4. Islam.
3)        Jenis Zina dan Ancaman Pidana bagi Pelaku Zina menurut Hukum Pidana Nasional
Perzinahan hanya dapat terjadi jika ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah Terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang belum menikah dalam perbuatan ini adalah termasuk orang yang turut melakukan (medepleger). Sedangkan perzinahan dalam tinjauan hukum pidana Islam adalah lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan dalam KUHP tersebut. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan dengan siapa persetubuhan itu
dilakukan. Apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang telah menikah
maka pelakunya disebut pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân.
Ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP adalah pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang telah menikah maupun bagi orang yang turut serta melakukan perbuatan zina itu.
Di dalam hukum Pidana Nasional jenis dan ancaman bagi pelaku zina telah jelas disebutkan dalam pasal 284, yang lengkapnya adalah sebagai berikut.
(1). Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan :
1. a. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
 b. Seorang perempuan yang telah kawin yang melakukan zina, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
(2)   a.  Seorang  laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b.  Seorang perempuan yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.[32]

D. Gugurnya Ancaman Zina
1. Hal-Hal Yang Menyebabkan Gugurnya Hukuman dalam Islam
Pelaksanaan hukuman had bagi penzina tidak dapat dilaksanakan atau gugur karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain [33]:
  1. Karena pelaku mencabut pengakuannya apabila zina tersebut dibuktikan dengan pangakuan
  2. Karena para saksi mencabut persaksiannya sebelum hukuman
  3. Karena pengingkaran oleh salah seorang pelaku zina atau mengaku sudah kawin apabila zina dibuktikan dengan pangakuan salah seorang dari keduanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah. Akan tetapi menurut jumhur ulama, pengingkaran tersebut tidak menyebabkan gugurnya hukuman. Demikian pula pengakuan telah kawin menurut jumhur tidak menyebabkan gugurnya hukuman, kecuali apabila ada petunjuk atau bukti bahwa kedua pelaku zina itu memang sudah menikah;
  4. Karena hilangnya kecakapan para saksi sebelum pelaksanaan hukuman dan setelah adanya putusan hakim. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Akan tetapi, mazhab-mazhab yang lain tidak menyetujuinya;
  5. Karena meninggalnya saksi sebelum hukuman rajam dilaksanakan. Pendapat ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi, tidak menurut mazhab yang lainnya 
  6. Karena dilaksanakannya perkawinan antara pelaku zina tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah. Akan tetapi menurut fuqaha yang lain, perkawinan setelah terjadinya perbuatan zina tidak mengugurkan hukuman had, karena hal itu bukan merupakan syubhat.

2. Menurut Hukum Pidana Nasional

Dalam hukum pidana ada diatur tentang dasar-dasar atau alasan-alasan  untuk hapusnya hak menuntut yang diatur dalam Buku I Bab VIII yaitu :
  1. Telah ada putusan hakim yang tetap mengenai tindakan yang sama. Perumusan ketentuan mengenai ne bis in idem tercantum dalam :
Pasal 76 ayat 1 KUHP kecuali dalam hal putusan hukum masih dapat dimintakan peninjauan kembali (herziening), seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena tindakan (feit) yang oleh hukum Indonesia telah diadili dengan putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap (kracht van jewijsde) terhadap dirinya.
Ayat 2 : jika putusan yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap itu berasal dari hukum lain, maka terhadap orang itu dan karena tindakan itu tidak boleh diadakan penuntutan bagi dalam hal:
Ke –1 putusan berupa pembebasan dari dakwaan (Vrijspraak) atau pelepasan dari tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtvervolging).
Ke-2 putusan berupa pemanduan yang seluruhnya telah dilaksanakan, grasi atau yang telah dalawarsa pelaksanaan pidana tersebut.
Ne bis in idem berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan (feit) yang sama. Ketentuan ini disahkan pada pertimbangan, bahwa pada suatu saat (nantinya) harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan dan akhir dari baliknya ketetuan pidana terhadap suatu delik tertentu.
Azas ini merupakan pegangan agar tidak lagi mengadakan pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hukum yang tetap.
Dengan maksud untuk menghindari dua putusan terhadap pelaku dan tindakan yang sama juga untuk menghindari usaha penyidikan/penuntutan terhadap perlakuan delik yang sama, yang sebelumnya telah pernah ada putusan yang mempunyai kekuatan yang tetap.
Tujuan dari atas ini ialah agar kewibawaan negara tetap dijunjung tinggi yang berarti juga menjamin kewibawaan hakim serta agar terpelihara perasaan kepastian hukum dalam masyarkat. Kuota putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila upaya hukum yang biasa yaitu perlawanan, banding, kasasi tidak dapat lagi digunakan baik karena lewat waktu, atau pun karena tidak dimanfaatkan atau putusan diterima oleh pihak-pihak.
Agar supaya suatu perkara tidak dapat diperiksa untuk kedua kalinya apabila:
Perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama dengan yang didakwakan terdahulu.
·         Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama.
·         Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Belakangan dasar Ne bis in idem Itu digantungkan kepada hal, bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai peristiwa yang tertentu telah diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang tidak diubah lagi. Putusan ini berisi:
  1. Penjatuhan hukuman (veroordeling). Dalam hal ini oleh hakim  diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan peristiwa pidana yang dijatuhkan kepadanya; atau
  2. Pembebasan dari penuntutan hukum (outslag van rechisvervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang, akan tetapi peristiwa itu ternyata bukan peristiwa pidana, atau terdakwanya kedapatan tidak dapat dihukum, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya itu, atau
  3. Putusan bebas (vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup buktinya.

  1. Terdakwa Meninggal Dunia
Pasal 77 KUHP : Hak menuntut hukum gugur (tidak laku lagi) lantaran siterdakwa meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan itu dihentikan. Jika penuntut telah dimajukan, maka penuntut umum harus oleh pengadilan dinyatkaan tidak dapat diterima dengan tentunya (niet-outvanhelijk verklaard). Umumnya demikia apabila pengadilan banding atau pengadilan kasasi masih harus memutuskan perkaranya.
Dalam pasal 77 KUHP terletak suatu prinsip, bahwa penuntutan hukum itu harus ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dimaksud telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis sampai demikian saja artinya tidak dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya.
Pengecualiannya diatur dalam pasal 361 dan 363 H.I. R yang menerangkan bahwa dalam hal menuntut denda, ongkos perkara atau merampas barang-barang yang tertentu mengenai pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai, tuntutan itu dapat dilakukan kepada ahli waris orang yang bersalah. Oleh karena sifat individual hukum acara pidana, maka baik wewenang penuntut umum untuk menuntut pidana seseorang yang disangka melakukan delik, maupun wewenang untuk mengeksekusi pidana hapus karena kematian terdakwa atau terpidana.


  1. Perkara Tersebut Daluwarsa / Lewat Waktunya
Dalam pasal 78 ayat 1 KUHP : Hak menuntut hukuman gugur (tidak dapat dijalankan lagi) karena lewat waktunya :
1.      Sesudah lewat satu tahun bagi segala pelanggar dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan percetakan;
2.      Sesudah lewat enam tahun, bagi kejahatan, yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari 3 tahun.
3.      Sesudah lewat dua belas tahun, bagi segala kejahatan yang terancam hukuman penjara sementara, yang lebih dari 3 bulan.
4.      Sesudah lewat delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam dilakukan mati atau penjara seumur hidup.
Ayat 2 : Bagi orang yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas tahun, maka tempo gugur waktu yang tersebut diatas dikurangi sehingga jadi sepertiganya.
Ration pendakwaan hak penuntut dalam memorie penjelasan disebutkan sebagai dasarnya ialah :
  1. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengeja/menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian / delik itu dari ingatan manusia terhadapnya juga menipis; dan
  2. Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik tersebut.
Apabila diperhatikan tenggang dalawarsa yang ditentukan dalam pasal 78 KUHP, kiranya penentuan lamanya tanggal waktu itu erat hubungannya antara tingkat atau berat / ringannya tindak pidana dengan ingantan manusia (masyarakat/mengenai kejadian tersebut dalam hubungannya dalam perasaan  keadilan masyarakat tersebut artinya apabila seseorang itu menyingkir sekian lamanya dari masyarakat termasuk pejabat-pejabat penyidik dan jaksa maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat tersebut sudah akan memaafkan kejadian tersebut seandainya tersangka itu kembali dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dan juga dapat dimengerti bahwa menjadi buronan selama tenggang waktu tersebut, sudah merupakan hukuman tersendiri bagi tersangka yang bersangkutan.
Dari sudut kepastian hukum sudahlah sewajarnya apabila dalam waktu tertentu harus dihentikan suatu usaha mengejar/penuntutan, karena usaha penyidikan yang berlarut-larut, tidaklah mendidik masyarakat untuk menunjukkan respeknya kepada hukum.

  1. Terjadinya Penyelesaian Diluar Persidangan
Pasal 82 KUHP yang berbunyi :
Ayat 1 : Hak menuntut hukum karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jika maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri dan demikian juga dibayar ongkos mereka, jika penilaian telah dilakukan, dengan izin amtenaar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.
Ayat : 2 Jika perbuatan itu terencana selamanya denda juga benda yang patut dirampas itu atau dibayar harganya, yang ditaksir oleh amtenaar yang tersebut dalam ayat pertama.
Ayat : 3 Dalam hal hukuman itu ditambah diubahkan berulang-ulang membuat kesalahan, boleh juga tambahan itu dikehendaki jika hak menuntut hukuman sebeb pelanggaran yang dilakukan dulu telah gugur memenuhi ayat pertama dan kedua dari pasal itu.
Ayat : 4 Peraturan dari pasal ini tidak berlaku bagi orang yang belum dewasa, yang umurnya sebelum melakukan perbuatan itu belum cukup enam belas tahun.
Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82 KUHP mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian.
Disatu pihak penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan pihak-pihak yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib menghentikan usaha penuntutannya dan sebagai imbalannya tersangka wajib membayar maksimum denda yang hanya satu-satunya diancamkan ditambah dengan biaya penuntutan apabila usaha penuntutan sudah dimulai.
Jadi pembayaran denda harus dilakukan kepada penuntut umum dalam waktu yang ditetapkan oleh penuntut umum tersebut. Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa acara ini berasal dari hukum perdata, seperti halnya kebaikan pihak-pihak menjelaskan suatu delik aduan. Jelas bahwa cara ini bertentangan dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Namun demikian, dalam perkara-perkara kecil yang ancaman hukumannya hanya diancam dengan pidana denda saja sifat hukum publik itu perlu disimpangi untuk mempermudah dan mempercepat acara penyelesaiannya.


[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana , Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 79

[2] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia Dan Inggris, Aneka, Semarang, 1977, hlm. 442

[3] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 343

[4] www.wikepedia.co.id
[5] Abd Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jld. 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 2026
[6] Tim Penulis, Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, [t,t], hlm. 4050

[7] Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Terjemahan) jld. 3, Semarang: As-Syaifa’, 1990, hlm. 613

[8] ‘Ala Ad-Din Al-Kasani, Kitab Badai’ Ash-Shana’ fi Tartib Asy-Syarai’, Juz VII, Dar al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 49.

[9] Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-JinaiyAl-Islamy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 349.

[10] Abd Al-Qadir Audah, II, op. cit. hlm. 349

[11] Abdullah ibn Muhammad ibn Qudamah, Al-Mughni, Juz VIII, Dar Al-Manar, 1368 H, hlm. 181.
[12] Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ind-hill, 1997), hlm. 92-93.

[13] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 8.
[14] Ibid, hlm. 351

[15] Ibid.

[16] Abd. Al-Qadir Audah, II, op.cit. hlm. 367.
[17] Lamintang, Delik-delik Khusus, op. cit. hlm. 92.

[18] Ibid, hlm. 88
[19] Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), hlm. 102.

[20] Lamintang, Delik-delik Khusus, op.cit. hlm. 89

[21] Ibid. hlm. 100.
[22] Ibid. hlm. 103
[23] Sayid Sabiq, II, hlm. 343
[24] Chairul Fahmi, Muhammad Shiddiq, MH, Hukum Rajam, Aceh Justice Resource Centre, B. Aceh, 2009. hlm. 13

[25] Ahmad Wardi Muslich, op. cit. hlm 30

[26] Abd. Al-Qadir Audah, At-Tasyri’al Al-Jinaiy Al-Islamy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut:tt, hlm. 347.

[27] Ibid, hlm. 348

[28] Ahmad Wardi Muslich, op. cit. hlm 32

[29] Abd Qadir Audah, op. cit. hlm. 384

[30] Ibid

[31]  Abd Al- Qadir Audah, II, op. cit. hlm. 384-385
[32] Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005.hlm. 56.

[33] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar